Serasa aku sendiri.
Ya, aku sendiri tanpa kakak ato adek seperti kbykan org lain nya..
Kokoh aku berdiri,
Mmbwa beban yg kurasa berat aku angkat sndrian dsni..
Yaa,, ini konsekuensi.. bhkan ini yg hrus na mnjdi smgat hidupku..
Amanat dr org tua yg bgitu brharga..
Tak ternilai layakna emas seluas gurun sahara..
Tak terhingga layaknya harta qarun yg tertimbun didunia…
Abi.. umi…
Mgkin hnya engkau smgt hidupku kini…
Harapan tunggalmu aku genggam erat…
Dan tk kan aku lepaskan skuad akidah yg telah engkau ajarkan…
Berat abi. Berat umi…
Andai Allah dahulu berkehendak lain..
Astaghfirullah..
Tak pantas aku berkata seperti ini…
Ini telah jalanku,,
Dan inilah yg trbaik untukku..
Dan aku ykin Allah merencanakan ssuatu yg lebih indah tk hnya sekedar oase di padang pasir…
Bhkan tak sekedar bunga mawar ditengah hutan belantara…
Aku synk kalian :*
Ridloi langkahku utk mmbwamu ksurgaNya kelak.. amiin
Minggu, 26 Agustus 2012
Kamis, 23 Agustus 2012
makalah pancasila dan islam
MAKALAH
PANCASILA DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Makalah
ini
disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Pancasila dan Kewarganegaraan
Dosen Pengampu :
Roma Ulinnuha, S.S., M. Hum.
Disusun Oleh :
Anis Nuraini Fatayati
11530017
JURUSAN TAFSIR HADITS
FAKULTAS USHULUDDIN, STUDI AGAMA DAN PEMIKIRAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2011/2012
BAB I
PENDAHULUAN
Diskursus tentang hubungan Islam dan negara merupakan tema yang tak
pernah usai dibahas. Salah satu dimensi persoalan yang selalu melahirkan
perbedaan adalah bagaimana Islam seharusnya menempatkan diri dalam sistem
sosial politik. Dengan kata lain, bagaimana strategi perjuangan umat dirumuskan
dalam masyarakat negara-bangsa yang plural ini. Bahkan tak dapat dipungkiri, sebagian
memandang Pancasila sebagai dasar negara merupakan jembatan yang rentan
menjatuhkan ke lembah kesyirikan, namun sebagian lagi bersikap akomodatif.
Pancasila yang berakar dari sejarah, agama, adab atau budaya, dan hidup
ketatanegaraan yang telah lama berkembang saat NKRI masih berbentuk kerajaan,
diterima sebagai ideologi negara yang mengatur keanekaragaman Indonesia, (bukan
ideologi yang dipaksakan untuk individu).
Namun kenapa justru saat ini seolah-olah islam lah agama
satu-satunya yang berhak atas pancasila. Bukankah kita tahu, pancasila lahir
tidak hanya dibawah naungan agama islam semata. Namun Indonesia memiliki
keberagaman agama yang diakui. Dan bagaimanakah pendapat para tokoh atau
pandangan tokoh yang berpengaruh di Indonesia mengenai hal ini? Lalu bagaimanakah
sistem yang mereka gunakan dalam mengatur negara yang berasaskan pancasila dan
tidak lepas pula dari pengaruh islam?
Rumusan Masalah :
1.
Bagaimanakah pancasila dalam perspektif islam? Dan seperti apakah
hubungan antara Islam dan Pancasila?
2.
Bagaimana sila dalam Pancasila yang berkaitan
Ketuhanan?
3.
Bagaimana pendapat seorang tokoh tentang Gus
Dur (selaku mantan presiden) dan Deklarasi Tentang Hubungan Pancasila dengan Islam?
4.
Bagaimana isu
kontemporer yang berkaitan dengan Islam dan Pancasila, khususnya terorisme?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pancasila dalam Perspektif Islam dan Hubungannya
Bangsa Indonesia patut berterima kasih kepada founding father-nya yang telah
menyatukan kemajemukan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tidak
semua negara di dunia mampu melakukannya. Semangat nasionalisme mampu dirasakan
oleh seluruh lapisan masyarakat dari puluhan ribu pulau, suku bangsa, bahasa,
lebih-lebih agama sebagai perbedaan yang paling mendasar.
Kini,
ada satu ancaman baru dengan pudarnya nasionalisme sebagian masyarakat
Indonesia yang ingin merubah tatanan dan ideologi bangsa dengan menginginkan
penerapan syari’at Islam di tengah pluralisme beragama bahkan dengan sistem
khilafah. Mereka muncul untuk menegakkan syari’at Islam dengan membawa simbol
mayoritas dan lupa bahwa Indonesia ada, juga karena adanya agama lain. Padahal
Pancasila tidak membawa agama, namun mengatur hal-hal yang berbaur dengan
agama.
Sebagai
bentuk perlawanan, akhirnya muncul dikotomi antara kelompok Islamis dan
nasionalis yaitu kelompok yang menginginkan penerapan syari’at Islam serta
membentuk Indonesia dalam sistem khilafah dan kelompok yang tetap mempertahankan
pancasila sebagai ideologi bangsa. Kelompok Islamis seolah-olah merasa tidak
kaffah menjalankan syari’at Islam di negara pancasila, demikian pula kelompok
nasionalis merasa mengkhianati bangsanya ketika syari’at Islam diformalisasikan
di negara pancasila. Padahal Islam adalah agama yang syumul (universal) yang berlaku
dalam setiap ruang dan waktu hingga akhir zaman. Demikian pula pancasila adalah
ideologi yang terbangun atas dasar nilai-nilai agama termasuk Islam.
Memang,
pertarungan dua kelompok ini telah dimulai sejak masa kolonial. Di mana pada
tahun 1930, Soekarno versus Natsir telah berpolemik tentang masalah-masalah
dasar perjuangan kemerdekaan dan tentang masa depan bangsa Indonesia. Keduanya
adalah tokoh yang representasi mewakili kelompok nasionalis dan Islamis.
Demikian pula pasca kemerdekaan, dua kelompok ini bertarung melalui Piagam
Jakarta terutama dalam konsep dasar ideologi bangsa yaitu pada kalimat “…dengan
berdasar kepada ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi
pemeluk-pemeluknya” meskipun pada akhirnya berdasarkan musyawarah dapat diganti
dengan kalimat “….berdasarkan ketuhanan yang maha esa”.
Meskipun
demikian, kita mestinya tidak menjadikan sejarah pertentangan di atas sebagai
semangat pemberontakan terhadap Pancasila ataupun melawan nilai dari ajaran
Islam sebab mereka telah tuntas dalam satu kesepakatan dengan menjadikan
Pancasila sebagai azas negara dengan rumusannya yang sempurna serta mengambil
nilai dari ajaran-ajaran agama.
Namun
semangat penerapan syari’at Islam atas nama mayoritas masih terus mengalir
hingga ke parlemen dan eksekutif dengan lahirnya partai-partai berazaskan Islam
dan melahirkan Undang-Undang serta Perda-Perda bernuansa syari’at Islam. Di
sisi lain semangat mempertahankan pancasila sebagai ideology yang legitimed dan
melindungi minoritas pun terus dilontarkan melalui parlemen dan gerakan-gerakan
nasionalisme. Mereka menginginkan pancasila sebagai harga mati bagi azas negara
Indonesia.
Pada
dasarnya, Islam dan pancasila adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan sebab
keduanya bertujuan mewujudkan perdamaian di muka bumi. Untuk itu perlu ada
rumusan dan diplomasi baru guna menjadikan keduanya sebagai ruh bangsa
Indonesia. Indonesia yang dapat membentuk masyarakatnya dapat berbangsa tanpa
merasa berdosa kepada Tuhannya, demikian pula dapat beragama tanpa merasa
mengkhianati bangsanya. Menjadikan agama untuk mengisi pancasila agar tidak
bertentangan secara vertical kepada Tuhan. Yakinlah bahwa pancasila merupakan
impelementasi atau turunan dari ajaran Islam melalui ajaran hablun minannas
(hubungan kepada sesame manusia). Begitu pula melalui ajaran persaudaraan
sesama manusia (ukhuwah basyariyah) dan persaudaraan sesama anak bangsa
(ukhuwah wathoniyah).
Jadi
mengamalkan Pancasila adalah bagian dari ibadah yang sesuai dengan ajaran Islam
dan mengamalkan Islam adalah bentuk pengabdian dan kesetiaan kepada bangsa
Indonesia. Sebaliknya, melanggar ketentuan Pancasila dapat melanggar
nilai-nilai dari ajaran Islam dan tidak melaksanakan Islam adalah pengkhianatan
kepada bangsa Indonesia.
2.
Sila dalam Pancasila yang berkaitan
Ketuhanan
Sila
pertama :
Ø Ketuhanan Yang
Maha Esa
Dalam kebebasan
berkeyakinan dan berpendapat, Islam tidak memaksa seseorang untuk merubah
keyakinannya dan memeluk Islam. Walaupun Islam menyerukan untuk itu, namun
seruan kepada Islam adalah satu hal dan memaksa memeluk Islam ialah hal lain.
Yang pertama disyariatkan dan yang kedua dilarang :
ادْعُ
إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ
بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ
وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Artinya : Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan
hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat
dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat
petunjuk. (An-Nahl : 125)
Allah juga
berfirman tentang paksaan :
لا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ
فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ
بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Artinya : Tidak
ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang
benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada
Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada
buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui. (Al-Baqarah : 256)
Salah satu prinsip yang ditetapkan syariat ialah :
Kita biarkan mereka dan juga agama yang mereka anut. Jadi,
pemerintah Islam tidak memusuhi non muslim baik keyakinannya maupun ibadatnya.
Seperti halnya tempat-tempat ibadat Yahudi dan Nasrani tetap terpelihara dalam
pemerintahan Islam di sepanjang masa, tidak juga mengalami kerusakan, tidak
dari kaum Muslimin dan tidak juga dari negara. Bahkan negara melindunginya dan
para pemiliknya diperbolehkan melakukan ibadat di tempat itu.
Perlindungan fiqh Islam terhadap kebebasan akidah telah mencapai
taraf yang kita soalan masuk islamnya salah seorang dari suami isteri yang non
muslim, Imam Syafi’i (pendiri mazhab Syafi’i
dalam fiqh) mengatakan, tidak boleh menampakkan keislamannya kepada
pasangannya. Berbeda dengan mazhab Hanafi yang memperbolehkannya. Imam Syafi’i
beralasan : Sesungguhnya dalam penampakan keislaman ini terdapat (kesan)
permintaan masuk Islam kepada mereka (non muslim), padahal kita telah menjamin
dengan perjanjian tanggungan untuk tidak memaksa mereka. Jadi Imam Syafi’i
melihat bahwa menampakkan keislaman kepada pasangan yang belum masuk Islam
merupakan salah satu bentuk permintaan dan pemaksaan kepadanya untuk masuk
Islam, hingga tidak diperbolehkan. Taraf yang begitu tinggi yang telah dicapai
oleh fiqh Islam dalam melindungi kebebasan akidah.
Apa yang dikemukakan harus tidak boleh diterapkan dalam persoalan
hukuman bagi orang murtad, yaitu hukuman orang Islam yang keluar dari Islam.
Persoalan ini adalah satu hal dan apa yang telah dikemukakan mengenai kebebasan
akidah adalah hal lain. Dengan keislamannya,
seorang muslim telah terkena oleh hukum-hukum dan keyakinan Islam. Jika dia
murtad, ia telah menghindari kewajibannya dan berbuat buruk serta membangkang
terhadap negara. Sehingga berhak mendapat hukuman, karena seseorang yang
menghindari kewajibannya harus mendapat balasan, sebagaimana dikenal dalam
hukum.
3.
Gus Dur dan Deklarasi Tentang Hubungan Pancasila dengan Islam
Sebuah Catatan
Oleh: KH. Dr. A. Mustofa Bisri
Saat
membicarakan Khitthah Nahdlatul Ulama dalam Musyawarah Nasional (Munas) Alim
Ulama di Situbondo 16 Rabiul Awwal 1404 H / 21 Desember 1983, ada 3 Sub Komisi
Khitthah yang masing-masing dipimpin oleh KH. Tholchah Mansoer; Drs. Zamroni,
dan H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
rahimahumullah.
Gus Dur waktu
itu memimpin Sub. Komisi Deklarasi yang membahas tentang Hubungan Pancasila dengan
Islam. Dan Deklarasi di bawah inilah hasilnya:
***
Bismillahirrahmanirrahim
1. Pancasila
sebagai dasar dan falsafah Negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak
dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan
kedudukan agama.
2. Sila
“Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal
29 ayat 1 Undang Undang Dasar (UUD) 1945, yang menjiwai sila yang lain,
mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.
3. Bagi
Nahdlatul Ulama (NU) Islam adalah akidah dan syariah, meliputi aspek hubungan
manusia dengan Allah dan hubungan antara manusia.
4. Penerimaan
dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia
untuk menjalankan syariat agamanya.
5. Sebagai
konsekwensi dari sikap di atas, NU berkewajiban mengamankan pengertian yang
benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekwen oleh semua
pihak.
Musyawarah
Nasional (Munas) Alim Ulama
Situbondo,
16 Rabiul Awwal 1404 H / 21 Desember 1983 M
***
Rapat untuk
merumuskan Deklarasi di atas, hanya berlangsung singkat sekali. Pimpinan (H.
Abdurrahman Wahid alias Gus Dur) membuka rapat dengan mengajak membaca
AL-Fatihah. Lalu mengusulkan bagaimana kalau masing-masing yang hadir
menyampaikan pikirannya satu-persatu dan usul ini disetujui. Kemudian secara
bergiliran masing-masing anggota Sub Komisi — dr. Muhammad dari Surabaya; KH.
Mukaffi Maki dari Madura; KH. Prof. Hasan dari Sumatera; KH. Zarkawi dari
Situbondo; dan . A. Mustofa Bisri dari Rembang berbicara menyampaikan
pikirannya berkaitan dengan Pancasila dan apa yang perlu dirumus-tuangkan dalam
Deklarasi.
Setelah
semuanya berbicara, Pimpinan pun menkonfirmasi apa yang disampaikan kelima
anggota dengan membaca catatannya, lalu katanya: Bagaimana kalau kelima hal ini
saja yang kita jadikan rumusan? Semua setuju. Pimpinan memukulkan palu. Dan
rapat pun usai.
K. Kun
Solahuddin yang diutus K. As’ad Samsul Arifin untuk mengamati rapat, kemudian
melapor ke K. As’ad. Ketika kembali menemui Pimpinan dan para anggota Sub Komisi,
K. Kun mengatakan bahwa K. As’ad kurang setuju dengan salah satu redaksi dalam
Deklarasi hasil rapat dan minta untuk diganti. Sub Komisi Khitthah pun mengutus
A. Mustofa Bisri untuk menghadap dan berunding dengan K. As’ad. Hasilnya ialah
Deklarasi di atas.
Yang masih
menyisakan tanda Tanya di benak saya selaku saksi sejarah, bagaimana Gus Dur
bisa begitu cepat menyimpulkan semua yang disampaikan anggota Sub Komisi dan
kelimanya termasuk saya– merasa bahwa kesimpulan yang dirumuskannya telah
mencakup pikiran kami masing-masing. Dugaan saya, Gus Dur sudah membaca
masing-masing pribadi kami dan karenanya sudah tahu apa yang akan kami katakan
berkenaan dengan Pancasila, lalu menuliskan kelima butir rumusan tersebut.
Dugaan ini sama atau diperkuat dengan fenomena yang masyhur: ketika Gus Dur
sanggup menanggapi dengan pas pembicaraan orang yang padahal– pada saat
berbicara, Gus Dur tidur. Wallahu a’lam.
4.
Isu Kontemporer yang Berkaitan dengan Islam dan Pancasila
Di
awal abad ke-21, Indonesia menghadapi musuh baru yang tak kalah mematikan
dibandingkan musuh-musuh lama yang sebelumnya sudah ada. Musuh kali ini
bukanlah para koruptor atau penjahat kelas kakap, tetapi adalah gejala paranoid
yang bernama terorisme. Selain membunuh banyak korban, musuh kita yang satu ini juga jelas-jelas
membunuh citra baik Indonesia di dunia Internasional. Selain itu, kelompok
teroris ini juga menyebarkan pemikiran-pemikiran radikal mereka kepada
masyarakat Indonesia yang moderat.
Dimulai dari peristiwa Bom Bali 1, lalu disusul oleh
pengeboman Hotel JW Marriot, kemudian Kedubes Australia, lalu Bali lagi, lalu
JW Marriot. Jika dilihat, semua alur pengeboman tersebut memiliki target yang
sama, yaitu pihak barat yang selama ini disimbolkan dengan Amerika Serikat dan
Negara sekutu-sekutunya. Organisasi seperti Darul Islam Indonesia (DI/NII)
telah mewariskan baik keturunan ideologis ataupun biologis terhadap
pelaku-pelaku terror saat ini, dengan tujuan mendirikan sebuah Negara Islam di
Indonesia atau menegakkan syariat Islam di Indonesia.
Menurut penelitian, terorisme muncul dari gerakan
radikal islam. Gerakan ini akibat :
1. Ketidakadilan
2. Kelemahan Negara
3. Kelemahan Masyarakat
4. Krisis identitas
Dan memang di Indonesia situasi tersebut memang sedang
terjadi. Sehingga politisi ideologi yang dilakukan oleh teroris menjadi
berkembang bagaikan jamur di musim hujan. Selain itu, peran organisasi Islam
juga jadi salah satu factor yang membuat banyak pemuda Islam mudah terlibat
aksi terorisme. Sebab, organisasi Islam tidak mampu mengakomodasikan kepentingan
kelompok Radikal Islam yang membuat kelompok tersebut berjalan sendiri dengan
pemahaman yang salah.
Lalu mengapa sebagian besar masyarakat menganggap
terror itu dilatarbelakangi oleh agama yang mengatasnamakan jihad
fisabilillah, tetapi dalam bentuk yang salah kaprah. Sebenarnya, terror
yang berlatarbelakang agama itu adalah tentang balas dendam, penghinaan dan
ketamakan. Dari sana berangkatlah para teroris berlatar belakang agama itu
dengan penuh nikmat atas keyakinan mereka bahwa misi yang mereka jalankan
adalah benar.
DAFTAR PUSTAKA
ü Zaidan, Dr. Abd. Karim. Masalah
Kenegaraan dalam Pandangan Islam. Jakarta: Pedoman Ilmu, 1989.
ü Saputra, Dinianto. “Mengintip Jejak Teroris
di Indonesia” dalam Aliansi. Bantul : MAN Wonokromo, Februari 2010.
ü Pertiwi, Arum Bekti. “Menguak Latar
Belakang Teror di Indonesia” dalam Aliansi. Bantul : MAN Wonokromo,
Februari 2010.
Langganan:
Postingan (Atom)