SELAMAT DATANG DI BLOG NZ_ELFATH'KU

Minggu, 26 Agustus 2012

selaksa doa utk Abi dan Umi

Serasa aku sendiri.
Ya, aku sendiri tanpa kakak ato adek seperti kbykan org lain nya..
Kokoh aku berdiri,
Mmbwa beban yg kurasa berat aku angkat sndrian dsni..
Yaa,, ini konsekuensi.. bhkan ini yg hrus na mnjdi smgat hidupku..
Amanat dr org tua yg bgitu brharga..
Tak ternilai layakna emas seluas gurun sahara..
Tak terhingga layaknya harta qarun yg tertimbun didunia…
Abi.. umi…
Mgkin hnya engkau smgt hidupku kini…
Harapan tunggalmu aku genggam erat…
Dan tk kan aku lepaskan skuad akidah yg telah engkau ajarkan…

Berat abi. Berat umi…
Andai Allah dahulu berkehendak lain..
Astaghfirullah..
Tak pantas aku berkata seperti ini…

Ini telah jalanku,,
Dan inilah yg trbaik untukku..
Dan aku ykin Allah merencanakan ssuatu yg lebih indah tk hnya sekedar oase di padang pasir…
Bhkan tak sekedar bunga mawar ditengah hutan belantara…

Aku synk kalian :*
Ridloi langkahku utk mmbwamu ksurgaNya kelak.. amiin

Kamis, 23 Agustus 2012

makalah pancasila dan islam


MAKALAH
PANCASILA DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Makalah ini disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Pancasila dan Kewarganegaraan

Dosen Pengampu :
Roma Ulinnuha, S.S., M. Hum.




















Disusun Oleh :


Anis Nuraini Fatayati
 11530017






JURUSAN TAFSIR HADITS
FAKULTAS USHULUDDIN, STUDI AGAMA DAN PEMIKIRAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2011/2012

BAB I
PENDAHULUAN
Diskursus tentang hubungan Islam dan negara merupakan tema yang tak pernah usai dibahas. Salah satu dimensi persoalan yang selalu melahirkan perbedaan adalah bagaimana Islam seharusnya menempatkan diri dalam sistem sosial politik. Dengan kata lain, bagaimana strategi perjuangan umat dirumuskan dalam masyarakat negara-bangsa yang plural ini. Bahkan tak dapat dipungkiri, sebagian memandang Pancasila sebagai dasar negara merupakan jembatan yang rentan menjatuhkan ke lembah kesyirikan, namun sebagian lagi bersikap akomodatif. Pancasila yang berakar dari sejarah, agama, adab atau budaya, dan hidup ketatanegaraan yang telah lama berkembang saat NKRI masih berbentuk kerajaan, diterima sebagai ideologi negara yang mengatur keanekaragaman Indonesia, (bukan ideologi yang dipaksakan untuk individu).
Namun kenapa justru saat ini seolah-olah islam lah agama satu-satunya yang berhak atas pancasila. Bukankah kita tahu, pancasila lahir tidak hanya dibawah naungan agama islam semata. Namun Indonesia memiliki keberagaman agama yang diakui. Dan bagaimanakah pendapat para tokoh atau pandangan tokoh yang berpengaruh di Indonesia mengenai hal ini? Lalu bagaimanakah sistem yang mereka gunakan dalam mengatur negara yang berasaskan pancasila dan tidak lepas pula dari pengaruh islam?

Rumusan Masalah :
1.      Bagaimanakah pancasila dalam perspektif islam? Dan seperti apakah hubungan antara Islam dan Pancasila?
2.      Bagaimana sila dalam Pancasila yang berkaitan Ketuhanan?
3.      Bagaimana pendapat seorang tokoh tentang Gus Dur (selaku mantan presiden) dan Deklarasi Tentang Hubungan Pancasila dengan Islam?
4.      Bagaimana isu kontemporer yang berkaitan dengan Islam dan Pancasila, khususnya terorisme?


BAB II
PEMBAHASAN
1.      Pancasila dalam Perspektif Islam dan Hubungannya
Bangsa Indonesia patut berterima kasih kepada founding father-nya yang telah menyatukan kemajemukan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tidak semua negara di dunia mampu melakukannya. Semangat nasionalisme mampu dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat dari puluhan ribu pulau, suku bangsa, bahasa, lebih-lebih agama sebagai perbedaan yang paling mendasar.
Kini, ada satu ancaman baru dengan pudarnya nasionalisme sebagian masyarakat Indonesia yang ingin merubah tatanan dan ideologi bangsa dengan menginginkan penerapan syari’at Islam di tengah pluralisme beragama bahkan dengan sistem khilafah. Mereka muncul untuk menegakkan syari’at Islam dengan membawa simbol mayoritas dan lupa bahwa Indonesia ada, juga karena adanya agama lain. Padahal Pancasila tidak membawa agama, namun mengatur hal-hal yang berbaur dengan agama.
Sebagai bentuk perlawanan, akhirnya muncul dikotomi antara kelompok Islamis dan nasionalis yaitu kelompok yang menginginkan penerapan syari’at Islam serta membentuk Indonesia dalam sistem khilafah dan kelompok yang tetap mempertahankan pancasila sebagai ideologi bangsa. Kelompok Islamis seolah-olah merasa tidak kaffah menjalankan syari’at Islam di negara pancasila, demikian pula kelompok nasionalis merasa mengkhianati bangsanya ketika syari’at Islam diformalisasikan di negara pancasila. Padahal Islam adalah agama yang syumul (universal) yang berlaku dalam setiap ruang dan waktu hingga akhir zaman. Demikian pula pancasila adalah ideologi yang terbangun atas dasar nilai-nilai agama termasuk Islam.
Memang, pertarungan dua kelompok ini telah dimulai sejak masa kolonial. Di mana pada tahun 1930, Soekarno versus Natsir telah berpolemik tentang masalah-masalah dasar perjuangan kemerdekaan dan tentang masa depan bangsa Indonesia. Keduanya adalah tokoh yang representasi mewakili kelompok nasionalis dan Islamis. Demikian pula pasca kemerdekaan, dua kelompok ini bertarung melalui Piagam Jakarta terutama dalam konsep dasar ideologi bangsa yaitu pada kalimat “…dengan berdasar kepada ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” meskipun pada akhirnya berdasarkan musyawarah dapat diganti dengan kalimat “….berdasarkan ketuhanan yang maha esa”.
Meskipun demikian, kita mestinya tidak menjadikan sejarah pertentangan di atas sebagai semangat pemberontakan terhadap Pancasila ataupun melawan nilai dari ajaran Islam sebab mereka telah tuntas dalam satu kesepakatan dengan menjadikan Pancasila sebagai azas negara dengan rumusannya yang sempurna serta mengambil nilai dari ajaran-ajaran agama.
Namun semangat penerapan syari’at Islam atas nama mayoritas masih terus mengalir hingga ke parlemen dan eksekutif dengan lahirnya partai-partai berazaskan Islam dan melahirkan Undang-Undang serta Perda-Perda bernuansa syari’at Islam. Di sisi lain semangat mempertahankan pancasila sebagai ideology yang legitimed dan melindungi minoritas pun terus dilontarkan melalui parlemen dan gerakan-gerakan nasionalisme. Mereka menginginkan pancasila sebagai harga mati bagi azas negara Indonesia.
Pada dasarnya, Islam dan pancasila adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan sebab keduanya bertujuan mewujudkan perdamaian di muka bumi. Untuk itu perlu ada rumusan dan diplomasi baru guna menjadikan keduanya sebagai ruh bangsa Indonesia. Indonesia yang dapat membentuk masyarakatnya dapat berbangsa tanpa merasa berdosa kepada Tuhannya, demikian pula dapat beragama tanpa merasa mengkhianati bangsanya. Menjadikan agama untuk mengisi pancasila agar tidak bertentangan secara vertical kepada Tuhan. Yakinlah bahwa pancasila merupakan impelementasi atau turunan dari ajaran Islam melalui ajaran hablun minannas (hubungan kepada sesame manusia). Begitu pula melalui ajaran persaudaraan sesama manusia (ukhuwah basyariyah) dan persaudaraan sesama anak bangsa (ukhuwah wathoniyah).
Jadi mengamalkan Pancasila adalah bagian dari ibadah yang sesuai dengan ajaran Islam dan mengamalkan Islam adalah bentuk pengabdian dan kesetiaan kepada bangsa Indonesia. Sebaliknya, melanggar ketentuan Pancasila dapat melanggar nilai-nilai dari ajaran Islam dan tidak melaksanakan Islam adalah pengkhianatan kepada bangsa Indonesia.

2.      Sila dalam Pancasila yang berkaitan Ketuhanan

Sila pertama :
Ø  Ketuhanan Yang Maha Esa
Dalam kebebasan berkeyakinan dan berpendapat, Islam tidak memaksa seseorang untuk merubah keyakinannya dan memeluk Islam. Walaupun Islam menyerukan untuk itu, namun seruan kepada Islam adalah satu hal dan memaksa memeluk Islam ialah hal lain. Yang pertama disyariatkan dan yang kedua dilarang :
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Artinya : Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (An-Nahl : 125)
Allah juga berfirman tentang paksaan :
لا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Artinya : Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al-Baqarah : 256)
Salah satu prinsip yang ditetapkan syariat ialah :
Kita biarkan mereka dan juga agama yang mereka anut. Jadi, pemerintah Islam tidak memusuhi non muslim baik keyakinannya maupun ibadatnya. Seperti halnya tempat-tempat ibadat Yahudi dan Nasrani tetap terpelihara dalam pemerintahan Islam di sepanjang masa, tidak juga mengalami kerusakan, tidak dari kaum Muslimin dan tidak juga dari negara. Bahkan negara melindunginya dan para pemiliknya diperbolehkan melakukan ibadat di tempat itu.
Perlindungan fiqh Islam terhadap kebebasan akidah telah mencapai taraf yang kita soalan masuk islamnya salah seorang dari suami isteri yang non muslim, Imam Syafi’i  (pendiri mazhab Syafi’i dalam fiqh) mengatakan, tidak boleh menampakkan keislamannya kepada pasangannya. Berbeda dengan mazhab Hanafi yang memperbolehkannya. Imam Syafi’i beralasan : Sesungguhnya dalam penampakan keislaman ini terdapat (kesan) permintaan masuk Islam kepada mereka (non muslim), padahal kita telah menjamin dengan perjanjian tanggungan untuk tidak memaksa mereka. Jadi Imam Syafi’i melihat bahwa menampakkan keislaman kepada pasangan yang belum masuk Islam merupakan salah satu bentuk permintaan dan pemaksaan kepadanya untuk masuk Islam, hingga tidak diperbolehkan. Taraf yang begitu tinggi yang telah dicapai oleh fiqh Islam dalam melindungi kebebasan akidah.
Apa yang dikemukakan harus tidak boleh diterapkan dalam persoalan hukuman bagi orang murtad, yaitu hukuman orang Islam yang keluar dari Islam. Persoalan ini adalah satu hal dan apa yang telah dikemukakan mengenai kebebasan akidah adalah hal lain. Dengan  keislamannya, seorang muslim telah terkena oleh hukum-hukum dan keyakinan Islam. Jika dia murtad, ia telah menghindari kewajibannya dan berbuat buruk serta membangkang terhadap negara. Sehingga berhak mendapat hukuman, karena seseorang yang menghindari kewajibannya harus mendapat balasan, sebagaimana dikenal dalam hukum.

3.      Gus Dur dan Deklarasi Tentang Hubungan Pancasila dengan Islam
Sebuah Catatan Oleh: KH. Dr. A. Mustofa Bisri
Saat membicarakan Khitthah Nahdlatul Ulama dalam Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama di Situbondo 16 Rabiul Awwal 1404 H / 21 Desember 1983, ada 3 Sub Komisi Khitthah yang masing-masing dipimpin oleh KH. Tholchah Mansoer; Drs. Zamroni, dan H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)  rahimahumullah.
Gus Dur waktu itu memimpin Sub. Komisi Deklarasi yang membahas tentang Hubungan Pancasila dengan Islam. Dan Deklarasi di bawah inilah hasilnya:
***
Bismillahirrahmanirrahim
1. Pancasila sebagai dasar dan falsafah Negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama.
2. Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat 1 Undang Undang Dasar (UUD) 1945, yang menjiwai sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.
3. Bagi Nahdlatul Ulama (NU) Islam adalah akidah dan syariah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antara manusia.
4. Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya.
5. Sebagai konsekwensi dari sikap di atas, NU berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekwen oleh semua pihak.
Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama
Situbondo, 16 Rabiul Awwal 1404 H / 21 Desember 1983 M
***
Rapat untuk merumuskan Deklarasi di atas, hanya berlangsung singkat sekali. Pimpinan (H. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur) membuka rapat dengan mengajak membaca AL-Fatihah. Lalu mengusulkan bagaimana kalau masing-masing yang hadir menyampaikan pikirannya satu-persatu dan usul ini disetujui. Kemudian secara bergiliran masing-masing anggota Sub Komisi — dr. Muhammad dari Surabaya; KH. Mukaffi Maki dari Madura; KH. Prof. Hasan dari Sumatera; KH. Zarkawi dari Situbondo; dan . A. Mustofa Bisri dari Rembang berbicara menyampaikan pikirannya berkaitan dengan Pancasila dan apa yang perlu dirumus-tuangkan dalam Deklarasi.
Setelah semuanya berbicara, Pimpinan pun menkonfirmasi apa yang disampaikan kelima anggota dengan membaca catatannya, lalu katanya: Bagaimana kalau kelima hal ini saja yang kita jadikan rumusan? Semua setuju. Pimpinan memukulkan palu. Dan rapat pun usai.
K. Kun Solahuddin yang diutus K. As’ad Samsul Arifin untuk mengamati rapat, kemudian melapor ke K. As’ad. Ketika kembali menemui Pimpinan dan para anggota Sub Komisi, K. Kun mengatakan bahwa K. As’ad kurang setuju dengan salah satu redaksi dalam Deklarasi hasil rapat dan minta untuk diganti. Sub Komisi Khitthah pun mengutus A. Mustofa Bisri untuk menghadap dan berunding dengan K. As’ad. Hasilnya ialah Deklarasi di atas.
Yang masih menyisakan tanda Tanya di benak saya selaku saksi sejarah, bagaimana Gus Dur bisa begitu cepat menyimpulkan semua yang disampaikan anggota Sub Komisi dan kelimanya termasuk saya– merasa bahwa kesimpulan yang dirumuskannya telah mencakup pikiran kami masing-masing. Dugaan saya, Gus Dur sudah membaca masing-masing pribadi kami dan karenanya sudah tahu apa yang akan kami katakan berkenaan dengan Pancasila, lalu menuliskan kelima butir rumusan tersebut. Dugaan ini sama atau diperkuat dengan fenomena yang masyhur: ketika Gus Dur sanggup menanggapi dengan pas pembicaraan orang yang padahal– pada saat berbicara, Gus Dur tidur. Wallahu a’lam.


4.      Isu Kontemporer yang Berkaitan dengan Islam dan Pancasila
Di awal abad ke-21, Indonesia menghadapi musuh baru yang tak kalah mematikan dibandingkan musuh-musuh lama yang sebelumnya sudah ada. Musuh kali ini bukanlah para koruptor atau penjahat kelas kakap, tetapi adalah gejala paranoid yang bernama terorisme. Selain membunuh banyak korban, musuh kita yang satu ini juga jelas-jelas membunuh citra baik Indonesia di dunia Internasional. Selain itu, kelompok teroris ini juga menyebarkan pemikiran-pemikiran radikal mereka kepada masyarakat Indonesia yang moderat.
Dimulai dari peristiwa Bom Bali 1, lalu disusul oleh pengeboman Hotel JW Marriot, kemudian Kedubes Australia, lalu Bali lagi, lalu JW Marriot. Jika dilihat, semua alur pengeboman tersebut memiliki target yang sama, yaitu pihak barat yang selama ini disimbolkan dengan Amerika Serikat dan Negara sekutu-sekutunya. Organisasi seperti Darul Islam Indonesia (DI/NII) telah mewariskan baik keturunan ideologis ataupun biologis terhadap pelaku-pelaku terror saat ini, dengan tujuan mendirikan sebuah Negara Islam di Indonesia atau menegakkan syariat Islam di Indonesia.
Menurut penelitian, terorisme muncul dari gerakan radikal islam. Gerakan ini akibat :
1.      Ketidakadilan
2.      Kelemahan Negara
3.      Kelemahan Masyarakat
4.      Krisis identitas
Dan memang di Indonesia situasi tersebut memang sedang terjadi. Sehingga politisi ideologi yang dilakukan oleh teroris menjadi berkembang bagaikan jamur di musim hujan. Selain itu, peran organisasi Islam juga jadi salah satu factor yang membuat banyak pemuda Islam mudah terlibat aksi terorisme. Sebab, organisasi Islam tidak mampu mengakomodasikan kepentingan kelompok Radikal Islam yang membuat kelompok tersebut berjalan sendiri dengan pemahaman yang salah.
Lalu mengapa sebagian besar masyarakat menganggap terror itu dilatarbelakangi oleh agama yang mengatasnamakan jihad fisabilillah, tetapi dalam bentuk yang salah kaprah. Sebenarnya, terror yang berlatarbelakang agama itu adalah tentang balas dendam, penghinaan dan ketamakan. Dari sana berangkatlah para teroris berlatar belakang agama itu dengan penuh nikmat atas keyakinan mereka bahwa misi yang mereka jalankan adalah benar.
DAFTAR PUSTAKA
ü  Zaidan, Dr. Abd. Karim. Masalah Kenegaraan dalam Pandangan Islam. Jakarta: Pedoman Ilmu, 1989.
ü  Saputra, Dinianto. “Mengintip Jejak Teroris di Indonesia” dalam Aliansi. Bantul : MAN Wonokromo, Februari 2010.
ü  Pertiwi, Arum Bekti. “Menguak Latar Belakang Teror di Indonesia” dalam Aliansi. Bantul : MAN Wonokromo, Februari 2010.