HADIS-HADIS TENTANG NIKAH MUT’AH
(STUDI MA’ANIL HADIS)
A.
Latar Belakang Masalah
Perkawinan adalah terjemahan dari
kata nakaha dan zawaja. Kedua kata inilah yang menjadi istilah
pokok dalam al-Qur’an untuk menunjuk perkawinan (pernikahan)[1]. Perkawinan
menurut istilah ilmu fiqh dipakai perkataan nikah dan perkataan ziwaj.
Sedangkan nikah menurut bahasa mempunyai arti sebenarnya (haqiqat) dan arti
kiasan (majaz). Arti yang sebenarnya dari nikah ialah dham, yang berarti
menghimpit, menindih, atau berkumpul, sedang arti kiasannya ialah watha’
yang berarti setubuh atau aqad yang berarti mengadakan perjanjian
pernikahan.[2]
Agama Islam sangat menganjurkan
perkawinan. Anjuran ini dinyatakan dalam bermacam-macam ungkapan yang terdapat
dalam al-Qur’an dan hadis. Ada yang menyatakan bahwa perkawinan itu telah
menjadi sunnah para rasul sejak dahulu kala dan hendaklah diikuti pula oleh
generasi-generasi yang datang kemudian.[3]
Sebagaimana dalam al-Qur’an Q. S. ar-Ra’d (13): ayat 38. Terjemahannya sebagai
berikut;
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu
dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. Dan tidak ada
hak bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat (mu’jizat) melainkan dengan
izin Allah. Bagi tiap-tiap masa ada Kitab (yang tertentu)).[4]
Disinilah pemahaman tentang adanya
nikah yang dianjurkan. Adapun hukum nikah bermacam-macam. Bisa menjadi wajib[5],
sunnah[6],
mubah (boleh)[7],
dan bisa juga menjadi haram[8][9].
Dari macam-macam hukum yang telah penulis paparkan, maka penulis akan mencoba
menjelaskan salah satu dari hukum tersebut yaitu haram. Haram disini masih
bersifat kompleks. Maka penulis mencoba untuk mengerucutkannya lagi. Pernikahan
yang dilarang atau bisa disebut dengan yang diharamkan, yaitu di mana
pernikahan yang hanya bertujuan untuk kesenangan semata, dan termasuk dalam
pernikahan yang dibenci Rasulullah saw. dan tidak sesuai dengan pernikahan yang
disyariatkan agama Islam. Pernikahan yang dilarang diantaranya yaitu nikah
mut’ah, nikah muhallil, nikah syighar (nikah tukaran), nikah tafwidh, dan nikah
yang kurang salah satu dari syarat-syarat atau rukun-rukunnya.[10] Disini
penulis hanya akan membahas salah satu dari tersebut yaitu nikah mut’ah.
Nikah mut’ah adalah nikah yang
dilakukan seseorang untuk waktu yang terbatas, misalnya, untuk satu tahun, dua
tahun, dst. Dalam pernikahan ini, suami tidak diwajibkan membayar maskawin dan
nafkah, tetapi cukup memberi mut’ah (pemberian tertentu yang dijanjikan pada
waktu akad nikah). Dalam istilah sekarang, orang sering mengatakannya dengan
kawin kontrak.[11]
Dengan melihat fenomena tersebut,
maka penulis disini terdorong untuk mengkaji bagaimana sebenarnya pandangan
hadis mengenai nikah mut’ah. Dengan cara menganalisa hadis-hadis yang
berhubungan dengan nikah mut’ah tersebut. Salah satu hadis yang berkaitan
dengan nikah mut’ah adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam
kitabnya,
حدثنا مالك بن اسماعل حدثنا ابن عيينة انه سمع
الزهرى يقول أخبرنى الحسن بن محمد بن على واخوه عبدالله بن محمد عن ابيهما أن عليا
رضى الله عنه قال لإبن عباس إن النبى صلى الله عليه وسلم نهى عن المتعة وعن لحوم
الحمر الأهلية زمن خيبر
Artinya:
Malik bin Isma’il telah menceritakan kepada kami (anak ‘Uyaynah)
bahwa ia mendengar az-Zuhri mengatakan, dari Muhammad bin Ali dan saudaranya
(‘Abdullah bin Muhammad) bahwasanya Ali ra. Ia berkata kepada Ibn Abbas,
“Sesungguhnya Nabi saw. telah melarang nikah mut’ah dan melarang memakan daging
keledai jinak pada masa perang Khaibar.” [12]
Contoh hadis diatas adalah salah
satu hadis dari sekian hadis yang berhubungan dengan nikah mut’ah. Banyak hadis
yang berhubungan dengan nikah mut’ah. Yang semula terdapat hadis dibolehkannya
nikah mut’ah, lalu muncul lagi hadis yang melarang, meskipun sempat pula
diperbolehkan lagi dan dilarang lagi.
B.
Rumusan Masalah
Sesuai
dengan latar belakang masalah diatas dan agar permasalahan yang dibahas tidak
meluas, maka perlu dirumuskan seperti apa hadis tentang nikah mut’ah. Oleh
karena itu masalah-masalah yang ada dirumuskan dalam bentuk
pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
1.
Bagaimana pemahaman
dan pemaknaan hadis tentang nikah mut’ah?
2.
Bagaimana
relevansi pemaknaan hadis tersebut jika dihubungkan dengan realita sekarang?
C.
Tujuan Penelitian
1.
Mengetahui
hadis tentang nikah mut’ah beserta pemahaman dan pemaknaannya.
2.
Mengetahui
relevansi pemaknaan hadis dengan realita sekarang.
D.
Signifikasi Penelitian
1.
Penelitian
ini diharapkan mampu memperkaya khazanah keilmuan tentang nikah mut’ah
khususnya ditinjau dari perspektif hadis serta pemaknaan kekiniannya.
2.
Penelitian
ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan yang lebih banyak tentang
hadis-hadis nikah mut’ah dapat dijadikan rujukan
bagi penelitian selanjutnya.
E.
Telaah Pustaka
Sebenarnya pembahasan tentang nikah mut’ah telah banyak. Pembahasan
yang hampir sebagian besar ditinjau dari segi fiqh ini banyak dalam bentuk
buku. Mulai dari sekedar dalam bahasan sub bab, ataupun judul bukunya langsung.
Namun sejauh yang penulis cari hanya menemukan dua judul mengenai nikah mut’ah
dalam perspektif hadis di skripsi Fak. Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga.
Hadis-hadis tentang nikah mut’ah dalam kitab Shahih Bukhari (studi
kritik sanad dan matan) oleh Nurcholis[13]
merupakan penelitian hadis tentang nikah mut’ah yang mengkajinya melalui sanad
dan matan hadis. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan
Nurcholis adalah pada analisisnya. Nurcholis menggunakan analisis sanad dan
matannya, yaitu dimana menjelaskan hadis tentang nikah mut’ah ditinjau dari
sanad dan matannya shohih atau tidak, meneliti perowi-perowi yang meriwayatkan
hadis tersebut. Sedangkan penulis mencoba menjelaskan melalui pemaknaan dan
pemahaman hadisnya.
Hadis tentang nikah mut’ah dan pelaksaannya di Kec. Cipanas Kab. Cianjur
Jawa Barat oleh Fauzan Rahmat Harisno[14]
merupakan penelitian lapangan yang dimana peneliti mencoba mengkaji dalam
tingkah laku masyarakat. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Fauzan adalah
pada metode yang digunakan. Fauzan menggunakan penelitian lapangan (field
research) sedangkan penulis menggunakan litetatur (libraby research).
Dr. Fuad Mohd. Fachruddin menjelaskan nikah mut’ah dari pandangan
syi’ah dalam bukunya. Sebab ini merupakan salah satu pendirian mereka (syi’ah)
untuk menarik perhatian umum terutama muda-mudi Islam[15].
Untuk mempertahankan pendapat mereka ini, mereka mencari alasan-alasan yang
dasarnya hanyalah untuk membenarkan ajaran mereka dengan mengganggap situasi
darurat membolehkan hukum yang semula dilarang[16].
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Dr. Fuad adalah pada sudut pandang
peneliti. Yaitu Dr. Fuad menggunakan sudut pandang dari kelompok syi’ah,
sedangkan penulis dari sudut pandang hadis.
Sachiko Murata lebih jauh lagi mengulas tentang nikah mut’ah dalam
pandangan syi’ah, namun menggunakan studi komparasi antara syi’ah dan sunni
dalam buku kecilnya[17].
Tujuan utama dari studi yang dilakukan Sachiko ini adalah melacak asal-usul
dari perdebatan antara Sunni dengan Syi’ah dengan kembali kepada sumber dan
argument di kedua belah pihak[18].
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Sachiko adalah pada metode yang
diambil. Sachiko menggunakan metode komparatif sedangkan penulis menggunakan
metode analisis teks hadis.
Lanjut lagi Quraish Shihab juga membahas tentang nikah mut’ah namun
dalam sub bab dalam bukunya[19].
Buku ini merupakan seputar tanya jawab
Islam yang beliau rangkum. Kurang lebih tiga halaman beliau menjawab sebuah
pertanyaan tentang lebih baiknya nikah mut’ah atau nikah sirri. Berawal dari
penjelasan beliau mengenai nikah mut’ah, lalu perbedaannya dengan nikah biasa,
penafsiran ayat tentang pembolehannya nikah mut’ah, dan juga penjelasan tentang
nikah sirri. Menurut beliau antara mut’ah dan sirri sama-sama buruk dan
hendaknya dihindari[20].
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Quraish Shihab adalah buku dari
Quraish Shihab merupakan buku rangkuman dari pertanyaan yang banyak orang
ajukan kepadanya. Dan pembahasan nikah mut’ah hanya beberapa halaman saja
dengan pertanyaan yang berkaitan pula dengan nikah sirri. Sedangkan penulis
mencoba fokus meneliti tentang nikah mut’ah dalam perspektif hadis ditinjau
dari realitas saat ini.
F.
Metode Penelitian
Penelitian pada hakikatnya merupakan
tindakan yang diterapkan manusia untuk memenuhi salah satu hasrat yang selalu
ada dalam kesadaran manusia, yaitu rasa ingin tahu. Demikian keingintahuan
manusia tentang segala aspek yang berkaitan dengan gejala-gejala yang muncul
dari religiusitas masyarakat, juga menghasilkan tindakan-tindakan untuk
meneliti. Dalam tindakan tersebut masyarakat menggunakan berbagai metode[21].
Dengan demikian penulis menggunakan metode sebagai berikut:
1.
Jenis
dan Sifat Penelitian
Penelitian ini masuk ke dalam
penelitian studi kepustakaan (library research) yang dimana dalam proses
pengumpulan data dengan menggunakan berbagai literatur seperti buku, artikel,
dan sebagainya yang berkaitan dengan nikah mut’ah. Sedangkan penelitian ini
bersifat deskriptif analitik yaitu berusaha mendeskripsikan tentang nikah
mut’ah lalu menganalisi hadis perihal tersebut dan relevansinya sekarang.
Selanjutnya penelitian ini juga
bersifat kualitatif yang dimana jenis penelitian yang tidak dapat dicapai
melalui prosedur pengukuran atau statistik[22].
Dikarenakan penelitian ini dimaksudkan untuk memahami teks hadis dan
pemaknaannya mengenai nikah mut’ah.
2.
Pengumpulan
Data
Data yang penulis peroleh dari
penelitian ini melalui buku-buku maupun dokumen yang berkaitan dengan objek
yang penulis teliti. Adapun teknik yang digunakan penulis adalah dengan
mengumpulkan buku, artikel, majalah, maupun internet yang berhubungan dengan
kajian yang akan penulis teliti. Sumber primernya yaitu kitab-kitab hadis baik
berbentuk buku seperti kitab Shohih al-Bukhari, Shohih al-Muslim, dll., maupun
berbentuk software seperti dalam Maktabah Syamela dan Mau’suah yang
membahas tentang nikah mut’ah. Sedangkan sumber sekunder yang mendukung sumber
primernya adalah buku-buku, artikel, maupun internet yang berkaitan dengan
penelitian ini. Seperti bukunya Dr. Fuad Mohd. Fachruddin yang berjudul nikah
mut’ah dari pandangan syi’ah, Sachiko Murata dengan judul nikah mut’ah dalam
pandangan syi’ah dan sunni, dll. yang telah penulis kutip sebelumnya di dalam
telaah pustaka.
[1] Khoiruddin
Nasution, Hukum Perkawinan 1, (Yogyakarta: ACAmedia dan Tazzafa, 2004),
hlm. 17
[2] Kamal Muchtar,
Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: PT Bulan Bintang,
1974), hlm. 1
[3] Kamal Muchtar,
Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, hlm. 9
[4] Pelayan Dua
Tanah Suci, al-Qur’an dan terjemahannya dalam Bahasa Indonesia, surat
ar-Ra’d ayat 38
[5] Jika seseorang
sudah dianggap mampu (usia, ekonomi, biologis, psikis) untuk menikah dan ia
sangat beresiko terjebak pezinaan.
[6] Jika seseorang
dianggap mampu untuk menikah, namun masih bisa menjaga dirinya.
[7] Seseorang yang
sebenarnya belum dianjurkan untuk menikah, namun tidak ada alasan pula yang
melarangnya untuk menikah.
[8] Banyak alas an
disini, diantaranya karena sepersusuan, saudara kandung, ayah, ibu, anak, atau
bisa juga disebabkan karena tidak sempurnanya rukun atau syarat nikah.
[10] Lihat Kamal
Muchtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, hlm. 110-116
[11] A. Zuhdi
Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan: Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk, (Bandung:
Al-Bayan, 1995), hlm. 24
[12] Hadis
diriwayatkan Bukhori, kitab nikah, bab Rasulullah melarang nikah mut’ah dan
sejenisnya, no. 4723. Hadis tersebut juga diriwayatkan oleh mukharij
al-hadis lainnya, seperti Muslim, Tirmidzi, Nasa’I, Ibnu Majah, Ahmad, dan
Darimi. Lihat CD Mausu’ah li Kutub at-Tis’ah
[13] Lihat Nurcholis,
”Hadis-hadis tentang Nikah Mut’ah dalam Kitab Shohih Bukhori (Studi Kritik
Sanad dan Matan)”, Skripsi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta: Fak.
Ushuluddin, 2008, 132 hlm.
[14] Lihat Fauzan
Rahmat Harisno, “Hadis tentang Nikah Mut’ah dan Pelaksaannya di Kec. Cipanas
Kab. Cianjur Jawa Barat”, Skripsi UIN Sunan Kalijaga: Fak. Ushuluddin,
2009, 87 hlm.
[15] Lihat Fuad
Mohd. Fachruddin, Kawin Mut’ah dalam Pandangan Islam, (Jakarta: Pedoman
Ilmu Jaya, 1992), hlm. xi
[16] Lihat Fuad
Mohd. Fachruddin, Kawin Mut’ah dalam Pandangan Islam,hlm. 83
[17] Lihat Sachiko
Murata, Lebih Jelas tentang Mut’ah Perdebatan Sunni dan Syi’ah,
(Jakarta: PT Grafindo Persada, 2001), 132 hlm.
[18] Sachiko
Murata, Lebih Jelas tentang Mut’ah Perdebatan Sunni dan Syi’ah, hlm. X
[19] Lihat M.
Quraish Shihab, 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui, (Jakarta:
Lentera Hati, 2008)
[20] Lihat M.
Quraish Shihab, 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui, hlm.
559-561
[21] Lihat Moh
Soehadha, Metode Penelitian Sosial Kualitatif untuk Studi Agama,
(Yogyakarta: SUKA Press UIN Sunan Kalijaga, 2012), hlm. 53
[22] Lihat Moh
Soehadha, Metode Penelitian Sosial Kualitatif untuk Studi Agama, hlm. 85